8/16/2008

Segala sesuatu ada waktunya…


Aku berdiri menghadap senja. Kala itu, sore hari senja akan menutup dirinya. Kulihat di seberang jalan, seorang lelaki yang kuperkirakan berumur 20 tahunan, berdiri didepan sebuah gereja tua. Ia hanya berdiri, mungkin sekitar 5 menit. Namun, yang kulihat setelah itu dia melangkah maju, membuka gerbang gereja dan memasukinya. Entah apa yang akan dia lakukan. Aku berlalu dari pintu masuk kedalam rumah. Namun, pikiran tentang pemuda itu tak segera enyah dari kepalaku. Aku baru kali ini melihatnya, mungkin dia orang luar daerah komplek ini. Kuhempaskan tubuhku ke ranjang. Namun, tetap pikiranku masih berisi tentang pemuda ini. Dengan hati yang dipenuhi rasa ingin tahu, akupun bangkit dari ranjang. Aku berlari menuju depan rumah. Kemudian, dengan langkah yang kuperlambat aku berjalan menuju gereja tua yang ada diseberang jalan.

Ketika kuberdiri didepan gereja tua itu. Tiba-tiba, aku merasa kecil. Selama ini aku jarang menginjakkan kakiku di gereja. Yah…mungkin hari minggu aku pergi kegereja, namun itu hanya sebuah rutinitas saja. Karena aku seorang kristian dengan kedua orang tuaku aktivis gereja yang rajin. Hampir setiap hari aku mereka pergi kegereja, mengunjungi panti-panti, mengadakan bakti sosial. Namun, semua itu kulihat hanya sebagai sebuah rutinitas dan kewajiban. Tidak kulihat ada rasa sebuah kasih di wajah kedua orang tuaku. Mereka memberikan senyum hanya untuk formalitas dan menunjukkan kewibawaan yang semu. Dan setiap hari pula aku hidup dengan gayaku sendiri. Setiap hari seusai sekolah, kuhabiskan sisa hari dengan berjalan-jalan mengelilingi kotaku dengan ke 3 sahabatku, dengan modal Toyota Vios yang diberikan orang tuaku. Aku akan kembali kerumah setelah lewat pukul 6 sore. Dan kedua orang tua ku pun akan kembali dirumah pukul 7 malam. Kedua orang tuaku tak pernah menggubris, kemana aku pergi?dengan siapa?dan apa yang kulakukan?. Mereka hanya akan menegurku jika aku pulang melebihi pukul 7 malam. Namun, yang kurasa itu hanya teguran biasa. Mereka jarang memarahiku.

Selama ini aku hidup dengan bersantai ria tanpa memikirkan apapun. Semua kulalui dengan jalan mulus. Nilai-nilai ulanganku tidak pernah buruk, kelakuanku di sekolah sangat baik, mungkin jika di rata-rata aku bisa menjadi seorang siswa teladan.

Aku dapat bergonta ganti pacar sesuai keinginanku, dengan modal tampang yang banyak orang mengatakan manis, kulit kuning langsat, rambut sebahu, dan tinggi semampai. Dibalik semua itu, aku merasa hampa. Aku tak ingin hal itu. Yang kuinginkan hanya kedamaian. Ya...kedamaian.


****************

Niatku untuk ingin mengetahui tentang pemuda itu pun memudar, ketika ku melihatnya berdiri di depan pintu dengan seorang lelaki tua yang terlibat pembicaraan yang serius. Aku terhenyak kaget, dengan segera kuberlari bersembunyi di balik pohon. Namun, sebelum niatku berhasil aku menabrak sebuah tong sampah. Bunyi yang terdengar mengakibatkan kedua orang itu pun memalingkan wajahnya.

“Siapa itu??” ucap pemuda itu dengan melangkah menuju asal tempat suara. Aku menutup mulutku rapat-rapat dengan kedua tanganku, sambil menenangkan degup jantungku yang sedari tadi berdebar-debar.

“Hei…apa yang sedang kau lakukan di situ??”ucapnya yang tahu-tahu sudah berdiri dibelakangku, dengan menepuk bahuku. Akupun terhenyak kaget. Tiba-tiba, aku merasa seluruh aliran darah di tubuhku berhenti. Dengan pelan kubalikkan tubuhku, menghadap wajahnya. Ketika kulihat sorot matanya yang lembut, pipiku terasa merah.

Dengan pelan, ia bertanya. “Siapa namamu,non..??”. Aku sedikit kaget, mendengarnya menyebutku non. Aku merasa wajahku sudah memerah seperti tomat.

“Aku Lina…”ucapku dengan kepala tertunduk. “Oh…aku Yohanes, panggil saja Yohan”ucapnya dengan mengulurkan tangannya. Ia pun menjabat dengan keras, hingga aku merasa kaget. “Apa yang sedang kau lakukan dibalik pohon ini??”tanyanya ketika kami berjalan menuju ke gereja. “Aku hanya…hanya…ingin me…melihatmu…” ucapku dengan terbata-bata. Ia terkaget mendengar jawabanku. “Melihatku??”tanyanya lagi dengan ekspresi yang serius. “Ya…”ucapku mantap. Ia pun tersenyum lembut. Aku berjalan pelan di belakangnya. Aku merasa bodoh sekali telah mengatakan yang sebenarnya. “Hei..kenapa hanya berdiri disitu??”tanyanya. Akupun baru menyadari bahwa aku berdiri sendiri. Aku pun segera menyusulnya.

“Terima kasih…kau ingin melihatku.”ucapnya dengan menjabat tanganku sekali lagi. Aku termangu. Ketika kulihat dia melambaikan tangannya, masuk kedalam sebuah mobil dan bayangannyapun semakin mengecil di ujung jalan. Hatiku merasa berbunga-bunga. Aku pun berjalan menuju rumah dengan senyum bahagia. Ketika kulirik jam ditanganku menunjukkan pukul setengah 7 malam. Sebentar lagi kedua orang tuaku pulang. Ku hempaskan tubuhku ke ranjang, dengan kedua tanganku terlentang. Saat kuingat tadi Yohan menjabat tanganku, tersenyum lembut, dan mengatakan Terima kasih…kau ingin melihatku. Hatiku semakin berbunga-bunga. Hingga akhirnya, akupun terlelap dalam buaian mimpi malam.


**********************

Pagi yang cerah, ketika kubuka mataku. Kulihat secercah sinar matahari masuk kedalam jendela kamarku. Aku pun segera bangkit, menyingkapkan kelambu jendela. Kini, seluruh cahaya hangatnya matahari pagi menyinarkan ke seluruh tubuhku. Aku merasa segar. Semangat hidupku kembali menyala. Aku segera berjalan menuju kamar mandi. Setelah selesai, aku pun segera berpakaian. Pagi ini, aku sarapan dengan semangat sekali, hingga kedua orang tuaku merasa heran dengan sikapku. “Lina…”panggil mamaku. “Ya…”.”Kau sedang bahagia ya..??”tanyanya dengan hati-hati. Aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Senyuman yang mengartikan “Ya”. Kedua orang tuakupun tersenyum lebar. Aku menuju sekolah dengan hati yang gembira. Sayup-sayup terdengar dari tape mobil, alunan lagu When I fall in love. Love??apakah aku sedang jatuh cinta??, tiba-tiba aku teringat tentang kata-kata itu. Aku semakin girang, dengan langkah mantap kumasuki gerbang sekolah, setelah kuparkirkan mobilku.

“Lin…”panggil seseorang dari belakang. Segera kubalikkan badanku. Sofi berdiri melambaikan tangannya. Aku tersenyum melihatnya. Ia pun menyusulku, kami berdua berjalan menuju kelas. Kulewati pelajaran hari ini dengan semangat yang baru.

Hari ini aku tidak melewatkan sisa hari dengan jalan-jalan bersama-sama ke 3 sahabatku. Aku segera pulang menuju kerumah, ketika berada di ujung jalan, kulihat mobil Suzuki katana putih milik Yohan terparkir gereja tua. Dengan segera kuparkirkan mobilku di belakang mobil Yohan. Aku pun menuju kedalam. Yohan melambaikan tangannya. Aku duduk di sampingnya. Kami berbicara mengenai kehidupan, agama, dan apa saja yang dapat kami perbincangkan. Ketika kulihat jam menunjukkan pukul 5 sore, Yohan segera pamit kepada bapak tua itu. Aku juga. Kami berpisah di depan gerbang gereja tua. Setiap hari kami bertemu dan berbincang tentang banyak hal, semakin hari aku semakin mengenalnya. Hingga akhirnya, kuberanikan diri untuk menanyakkan hal pribadi. “Han…apakah kau sudah memiliki pacar??”tanyaku dengan hati-hati. Ia menghadap wajahku, ia tersenyum lembut. “Tidak...”jawabnya dengan lembut. Aku pun semakin nekat. “Apakah kau tidak ingin memiliki seseorang yang menyayangimu, menjagamu dan memperhatikanmu…??”tanyaku kemudian. Dengan senyumnya, ia menjawab “Aku ingin…, namun sekarang aku ingin mewujudkan cita-citaku.” Ucapnya dengan lembut. “Hmm… Aku ingin mengatakan sesuatu.”. Dengan wajah yang serius ia memperhatikanku. “Ya…katakanlah!!”ucapnya kemudian.

“Yohan, aku menyayangimu, aku menyukaimu…”. Ia tersenyum lembut kepadaku. “Lina…aku juga menyayangimu, aku juga menyukaimu, namun hanya sebagai seorang adik..”ucapnya dengan melingkarkan tangannya ke bahuku. Akupun terdiam. Tanpa kuduga, ia mengecup keningku dengan mesra. “Saat ini aku ingin mewujudkan cita-citaku, suatu saat kelak kau akan menemukan lelaki yang tepat. Saat kau dewasa dan siap menghadapi kehidupan…”ucapnya dengan memandang mataku lekat-lekat. Tak kusadari, kepalaku tersandar ke dadanya yang bidang, sesaat aku merasakan kedamaian. Aku merasa aman, merasakan degup jantungnya. Ia merenggangkan pelukannya, dan berdiri menghadapku. “Aku akan pergi. Suatu saat nanti kita akan bertemu kembali…”ucapnya dengan melambaikan tangan dan menebarkan senyum lembutnya.

Perasaanku membuncah, namun akhirnya dapat kumengerti bahwa aku harus merelakannya. Dia meninggalkan kota ini untuk cita-citanya.

Setahun kemudian…

Di pagi yang cerah, aku mendapatkan sepucuk surat. Lina, inilah cita-citaku. Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk melayaniNya. Aku berdoa untukmu, kelak nanti kau akan menemukan pria yang sangat menyayangimu, mencintamu, menjagamu.

Semua ada waktunya…Kuharap kau dapat mengerti. Aku masih tetap kakakmu…

Dibawah surat terdapat selemnar foto. Surat dari Pdm. Yohanes, S.th, dengan jasnya ia terlihat gagah. Tak terasa air mataku pun menetes mambasahi kedua pipiku. Aku memandangi foto tersebut. “Terima kasih kakak, kau telah menyadarkanku. Inilah cita-citamu yang sebenarnya…”. Ya…segala sesuatu ada waktunya.


Sosok Di Ujung Jalan

Gerimis hujan mewarnai jalan yang kulalui. Dengan kecepatan sedang kulajukan motorku. Aku tidak ingin mengulangi kejadian buruk dan memalukan itu. Tepat, sebulan yang lalu, hari gerimis saat aku keluar dari gerbang sekolah, kulajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Kulakukan hal ini, karena kupikir agar cepat sampai dirumah. Namun, kesialanku ada saat itu, ketika aku akan menyalip sebuah mobil sedan didepanku. Sebuah becak dengan lancangnya tiba-tiba menyeberang didepanku. Keseimbanganku pun langsung goyah. Dengan segera, tanpa berpikir panjang lagi, kubantingkan setirku kekanan jalan. Braakkk….. Dalam hitungan detik seluruh tubuhku sudah berlumuran lumpur dan air parit. Yack…sungguh menjijikan. Orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian itu langsung datang bergerombol. Mereka memandang ke arahku, tanpa adanya niatan untuk menolongku. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Sialan, umpatku dalam hati. Kenapa mereka hanya memandangiku seperti melihat atraksi topeng monyet.

Seluruh orang baru bersikap “ngeh” ketika seorang pemuda berkulit sawo matang, datang menerobos gerombolan orang-orang itu.

Mari…saya bantu kamu.”ucapnya sambil mengulurkan kedua tangannya. Orang-orang yang berkerumun disekitarku langsung bertindak membantu pemuda ini. Ada yang mencoba mengangkat motorku dan meminggirkannya, ada yang memberiku segelas minum utuk menenangkan hatiku yang sudah tidak karuan dari tadi, ada juga yang menanyakan alamat rumahku, agar dapat memberitahu kedua orang tuaku tentang kejadian ini. Entah pesona apa yang dipancarkan oleh pemuda ini,sehingga orang-orang langsung bersikap “ngeh”. Akupun berjalan tertatih-tatih dengan bimbingan kedua tangan pemuda yang ada disampingku. Jantungku berdegup keras, kala tubuhku berada sangat dekat dengan tubuhnya. Kedua tangannya yang kuat, memegang kedua lenganku. Membimbingku berjalan kesebuah rumah diseberang jalan. Pipiku terasa panas, saat mendengar suaranya menanyakan namaku.

Siapa namamu…?”

Aku…Lucia” Aku sungguh heran kenapa tidak ada rasa jijik pada pemuda ini, ketika membantuku berdiri dan berjalan, padahal seluruh tubuhku penuh dengan bau yang sungguh memualkan perut. Bahkan, tanpa ragu ia menuntunku. Oh…tidak, beberapa kali aku sempat mencuri pandang kearahnya. Wajahnya yang bersih tanpa jerawat, walaupun berkulit sawo matang, tidak menghilangkan kemanisannya. Tatapan matanya yang tajam menilai, menyorotkan suatu ketegasan. Tubuhnya yang tegap dengan otot-otot yang bidang membuat aku semakin merasa aman dalam tuntunannya.

Duduklah disini…akan aku ambilkan obat-obatan dan handuk”. Ia kembali dengan membawa kotak obat dan sehelai handuk, serta seorang anak kecil yang membawa air hangat di dalam baskom.

Diamlah! Aku akan membersihkan kotoran dan luka di kakimu…”

Pemuda inipun berlutut di depanku, dengan pelan namun pasti ia lepaskan kedua sepatuku yang sudah tidak berbentuk lagi. Dengan lembut, ia angkat kedua kakiku, dan meletakkanya didalam baskom yang berisi air hangat. Dengan telaten ia mengurut kaki kananku yang terkilir.

Aduh…”ucapku ketika ia mengurut bagian kaki kananku yang paling sakit.

Ini yang sakit ya…”ucapnya lembut.

Tahan dulu sakitmu, aku akan membenarkan kakimu yang agak “slendro” ini “. Dengan gerakan yang amat mahir, ia menggerakkan kaki kananku, tangan kanannya memutar kaki kananku, tangan kirinya memegang telapak kakiku.

Auuww…”seketika aku berteriak karena kesakitan. Secara refleks pula tubuhku tiba-tiba roboh menimpa tubuhnya yang ada dibawahku. Sedari tadi, sebenarnya tubuhku hanya duduk diujung sofa karena punggungku sangat terasa nyeri ketika aku mencoba berselonjor. Tubuhku menindih tubuhnya, refleks pula ia memegang tubuhku. Kamipun terjatuh dilantai, wajahku berada sangat dekat dengan wajahnya. Tidak!!!matanya sungguh-sungguh bening, dari jarak sedekat ini aku dapat mendengar hembusan nafasnya yang tereng-engah, entah karena apa. Namun, rupanya pemuda ini segera sadar. Dia bangkit dan membantuku berdiri.

Kau tidak apa-apa kan..?”ucapnya dengan membantuku duduk di sofa kembali.

Ti..tidak. Aku tidak apa-apa.”

Di pintu dua orang berdiri melihat kami berdua.

Lucia…anakku. Kau tidak apa-apa??”ucap wanita setengah baya itu dengan berjalan ke arahku.

Mama…”ucapku dengan menoleh kea rah pintu.

Duh,..sudah mama bilang berkali-kali. Jangan ngebut….Sekarang kalau sudah seperti ini. Kamu itu….”Aku hanya bisa terdiam mendengar omelan mamaku.

Dia tidak apa-apa, tante…Hanya terkilir dan sedikit luka lecet.”sahut pemuda ini kepada orang tuaku. Dengan sigap, kedua orang tua ku menoleh.

Nak terima kasih atas pertolonganmu”ucap Papa pada pemuda ini.

Tidak apa-apa Om…”dengan cepat Papa dan Mama segera membantuku berjalan menuju mobil. Aku menoleh kebelakang sebelum mobil melaju meninggalkan rumah pemuda itu. Pemuda itu masih berdiri tegap, hingga mobilpun semakin melaju meninggalkan jauh pemuda itu, sampai tak dapat lagi kupandang lagi sosoknya. Sosok yang menghilang di ujung jalan.